Menapaki Jejak Multikultural di Semarang

Enam tahun lalu, sebelum hijrah ke Semarang, gua sempat dibuat bingung dengan kota ini. Sebuah kota yang akan menjadi saksi bisu perjuangan dalam mengejar gelar sarjana. Apa sih yang spesial dari Semarang? 

Jika kita bicara Jakarta dan Surabaya, pasti tanpa pikir panjang pikiran kita langsung tertuju kepada kota metropolitan terbesar di tanah air. Begitu pula kota besar lainnya seperti Bandung yang terkenal sebagai kota kreatif dan terkenal dengan deretan distro-nya yang kekinian dan Kota Malang yang terkenal dengan cuacanya yang sejuk. 

Atau, Yogyakarta yang terkenal sebagai kota budaya dan kota pelajar. Keistimewaan Yogyakarta juga telah diromantisasi oleh sejumlah musisi tanah air, sebut saja KLA Project dengan lagu ‘Yogyakarta’nya yang melegenda.

Lalu, apa sih spesialnya Semarang?

Minggu, 25 Oktober 2020, gua terbangun gara-gara mules karena habis makan seblak yang pedesnya naudzubillah. Tiba-tiba ada chat WA masuk reminder jadwal walking tour virtual dengan rute Multikultural. Gua lupa, kapan gua daftar walking tour yak wkwk... Maklum, kebanyakan karantina di rumah, otak jadi agak lemot :(

Sebenarnya gua sudah sejak lama ingin mengikuti walking tour dengan rute Multikultural ini. Sebuah rute yang konon akan membuat kita sadar akan keistimewaan ibukota Jawa Tengah ini. Tetapi sampai gua lulus kuliah dan balik ke Jakarta pun, gua belum kesampaian buat menjajal rute ini. Bak gayung bersambut, akhirnya Bersukaria Walking Tour dan Digitiket berkolaborasi mengadakan virtual tour dengan rute multikultural ini.

Setelah buang hajat, gua pun join ke dalam zoom, dan walking tour virtual kali ini akan dipandu langsung oleh Mbak Ika selaku story teller. Selain rute yang menarik, alasan lain kenapa gua tertarik mengikuti virtual tour kali ini adalah karena tour ini tidak dipungut biaya sama sekali alias Gratis Kak :)


*Karena ini adalah jalan-jalan virtual, jadi foto-foto di postingan ini sebagian besar diambil dari Google Street View. Sebagian lagi diambil dari arsip foto lawas, dan sebagian dari dokumentasi pribadi sewaktu kuliah di Semarang.


Walking tour dimulai dengan mengunjungi titik nol kilometer Semarang. Ada yang tahu di mana? Banyak yang menyangka kalau titik nol kilometer Semarang berada di Tugu Muda atau Simpang Lima. Tetotttt! Salah besar! Titik nol kilometer Semarang berada di taman seberang Gedung Keuangan Negara Semarang/Gedung Papak, dekat dengan Kantor Pos Besar Johar. Lokasinya yang agak nyempil dan ukurannya yang mini membuat keberadaan tugu nol kilometer ini menjadi luput dari perhatian masyarakat. 

Tugu nol kilometer Semarang yang letaknya nyempil di tengah Jalan Pemuda
Letak tugu nol kilometer ini tidak bisa terlepas dari sejarah bahwa pusat kota Semarang dulu terletak di wilayah kota lama. Ada yang tahu di mana letak dari alun-alun Semarang tempo dulu? Yak, jawabannya tidak lain dan tidak bukan ada di sebelah Pasar Johar, tepatnya di depan Masjid Agung Semarang atau yang sering disebut Masjid Kauman. Konsep dasar alun-alun Semarang sama seperti kebanyakan alun-alun di Jawa Tengah, dimana alun-alun dibangun berdekatan dengan bangunan masjid.

Masjid Agung Kauman
Masjid Kauman merupakan masjid tertua di Semarang dibangun pada tahun 1170 Hijriah atau bertepatan dengan tahun 1749 Masehi. Fakta menarik adalah, di alun-alun Semarang ini dulunya dilewati oleh trem yang merupakan trem uap pertama di Indonesia. Namun, keberadaan trem ini dihapuskan pada 1940, karena perawatannya yang lebih mahal dan moda transportasi bus yang dinilai lebih efisien.

Trem di Alun-Alun Semarang
Melipir dari alun-alun Semarang, tujuan selanjutnya adalah Kampung Melayu, yang dahulu didiami mayoritas warga pendatang berdarah Arab, Yaman, dan Melayu. Kawasan ini berada di Jalan Layur yang lokasinya tidak jauh dari Stasiun Semarang Tawang. 

Masjid Menara Layur

Di sini berdiri kokoh sebuah masjid bersejarah yang dahulu memegang peran penting dalam perdagangan dan transportasi, yakni Masjid Layur. Di belakang masjid ini terdapat kali Semarang, yang dahulu menjadi salah satu pintu masuk perdagangan di Semarang. Masjid Layur juga dikenal sebagai ‘Masjid Menara’ karena masjid ini memiliki sebuah menara yang dulunya berfungsi sebagai mercusuar.

Sebenarnya masjid ini memiliki dua lantai. Tetapi lantai 1 dari Masjid Layur ini ditimbun karena area sekitar masjid mengalami banjir rob sehingga bangunan masjid ditinggikan dan hanya menjadi satu lantai. Saat ini, lantai yang digunakan untuk salat adalah lantai kedua. 

Jika diperhatikan, atap masjid ini memiliki bentuk yang mirip dengan atap Masjid Kauman, yakni atap tumpang dengan tiga lapis. Tiga lapis atap ini melambangkan tiga prinsip dalam beragama, yakni Iman, Islam, dan Ikhsan. Sementara bagian dalam masjid ini ditopang oleh empat tiang yang disebut dengan soko guru, yang merupakan ciri khas bangunan berlanggam Jawa. Stasiun Semarang Tawang merupakan bagunan lain yang memiliki empat tiang soko guru.

Masjid Menara Layur dengan atap tumpang susun tiga

Trivia

Masjid Layur di opening Film 'Tanda Tanya'

Masjid Layur cukup sering dijadikan latar belakang adegan oleh sineas tanah air. Beberapa film penah menjadikan Masjid Layur sebagai lokasi syuting maupun latar belakang tempat seperti Sang Pencerah (2010), Gie (2005), dan Tanda Tanya (2011). 

Bangunan selanjutnya yang dikunjungi sebenarnya bukan bangunan yang berbau agama/budaya, tetapi bangunan yang masih ada kaitannya dengan Masjid Layur. Adalah Menara Mercusuar Willem III yang dibangun pada 1884 untuk menggantikan menara di Masjid Layur. Willem III, yang kala itu menduduki tahta Kerajaan Belanda, membangun mercusuar ini sebagai tindak lanjut pembukaan Terusan Suez untuk meningkatkan aktivitas perdagangan di Hindia Belanda khususnya Pulau Jawa. 

Mercusuar Willem III, yang dinobatkan sebagai mercusuar satu-satunya di Jawa Tengah saat ini

Inilah salah satu latar belakang kenapa Semarang merupakan kota yang multietnis. Sebab, dahulu Pelabuhan Tanjung Mas merupakan pelabuhan terbesar kedua setelah pelabuhan Sunda Kelapa di Batavia (Jakarta). Intensnya perdagangan antar bangsa seperti China, Eropa, Gujarat, Arab, menyebabkan terjadinya interaksi dengan masyarakat lokal. Para pendatang asing ini banyak yang menetap dan menikah dengan warga lokal, sehingga melahirkan akulturasi budaya Semarang yang multikultur.

Netizen : Ohhh gituuuu

Setelah mengunjungi tempat ibadah umat Islam, tujuan berikutnya adalah mengunjungi tempat ibadah umat Katolik, yakni Gereja Santo Yusuf atau disebut pula Gereja Gedangan. Ada yang tahu kenapa disebut Gereja Gedangan? Karena eh karena, tanah tempat gereja ini berdiri dahulu ditumbuhi pohon pisang atau yang dalam bahasa Jawa disebut gedang.

Gereja Santo Yusuf Gedangan. Di menara bangunan ini terdapat simbol IHS yang merupakan kepanjangan Iesus Hominum Salvator atau Nama Yesus Yang Tersuci. 
Gereja yang mengambil nama suami dari Bunda Maria tersebut dibangun antara tahun 1.870 – 1.875 dan merupakan salah satu Gereja Katolik pertama di Jawa. Dahulu, orang-orang Belanda mayoritas beragama Protestan dan pergerakan orang Katolik cukup dibatasi. Setelah Herman Willem Daendels berkuasa di Hindia Belanda, kebebasan beragama pun mulai diberlakukan sehingga mengundang misionaris Katolik untuk datang. Sebelum ada Gereja Gedangan, masyarakat yang beragama Katolik beribadah di sebuah petak di dekat Gereja Blenduk. 

Salah satu tokoh ternama yang berkaitan dengan Gereja Gedangan adalah Albertus Soegijapranata yang merupakan uskup pribumi Indonesia pertama. Salah satu slogan mahsyur dari Soegija adalah 100% Katolik 100% Indonesia. Soegija, yang pernah menjabat sebagai Uskup Agung Semarang, menjadi tokoh yang menentang dan mempetahankan Gereja Gedangan dari kependudukan Jepang. Kala itu, Jepang bermaksud untuk menjadikan gereja ini sebagai markas militer. 

Apakah tour ini sudah berakhir? Tentu saja belum~~ Perjalanan dilanjutkan dengan mengunjungi ikon Kota Lama Semarang, yakni Gereja Immanuel atau yang familiar dengan nama Gereja Blenduk. Disebut gereja Blenduk karena bangunan ini memiliki kubah setengah lingkaran yang oleh masyarakat Jawa disebut ‘blendhuk’. Oleh orang Belanda, gereja ini disebut ‘koepelkerk’ yang juga bermakna ‘gereja berkubah’ (Koepel = kubah, kerk = Gereja).

Gereja Immanuel atau populer dengan nama Gereja Blenduk (circa 2017)
Gereja bernama lengkap Gereja Protestan di Indonesia Barat (GPIB) Immanuel ini dibangun pada 1753 dan menjadi gereja Kristen tertua di Jawa Tengah. Awal mula pembangunan, Gereja Blenduk tidak memiliki menara seperti yang kita lihat saat ini. Kedua menara baru ditambahkan pada saat renovasi tahun 1894. Di sebelah timur gereja ini, terdapat taman paling masyhur se-Kota Lama, yakni Taman Srigunting. Dahulu, taman ini bernama 'Paradeplein" atau dalam bahasa Indonesia bermakna ‘Lapangan Parade’. Dinamakan 'Paradeplein' karena dahulu taman ini merupakan tempat bagi para tentara Belanda untuk berkegiatan militer, mulai dari latihan baris-berbaris, melaksanakan upacara, dan latihan militer lainnya.

Gereja Blenduk tempo dulu. Dari dulu sampe sekarang ya bentuknya memang begini, masih asli~

Kemahsyuran Semarang sebagai Kota perdagangan juga mengundang pedagang dari India (Gujarat) dan Pakistan untuk datang ke ibukota Jawa Tengah ini. Mereka akhirnya bermukim dan membentuk sebuah kampung bernama Kampung Pekojan yang mayoritas warganya adalah keturunan Pakistan dan Gujurat. Di Kampung Pekodjan, terdapat sebuah Masjid yang dibangun oleh para pedagang ini, yakni Masjid Jami Pekodjan. 

Tidak ada data spesifik mengenai kapan masjid ini dibangun. Namun, Masjid Pekojan dipugar sekitar tahun 1309 Hijriah atau 1878 Masehi. Sama seperti Masjid Layur, Masjid Pekojan ini juga menggunakan struktur tiang soko guru sebagai penopang utama. Mbak Ika menceritakan, ada tradisi unik di masjid ini yang hanya ada ketika Bulan Ramadan, yakni menyajikan bubur khas India sebagai takjil berbuka puasa. 

Interior Masjid Jami Pekodjan yang masih otentik

Tibalah kita di tempat terakhir yang menjadi saksi keberagaman budaya Semarang, yakni Kelenteng Tay Kak Sie yang terletak di kawasan Pecinan. Bicara Semarang memang tidak bisa terpisahkan dari eksistensi orang Tionghoa sebagai salah satu etnis utama di kota ini. Tay Kak Sie adalah salah satu kelenteng utama di Semarang yang berlokasi di Gang Lombok (karena dulu di sekitaran kelenteng ini banyak terdapat pohon cabe atau Lombok). Tay Kak Sie pada awalnya terletak di Gang Gambiran. Namun karena dirasa kurang cocok, maka pada tahun 1771 kelenteng ini 'dipindahkan' ke tempat sekarang. Tay Kak Sie disebut juga 'Istana Para Dewa' karena dewa-dewi yang dipuja di sini adalah yang terlengkap diantara seluruh kelenteng di pecinan Semarang.

Tay Kak Sie tempo dulu

Tay Kak Sie juga menjadi saksi penyempitan ruang gerak etnis Tionghoa ketika Orde Baru berkuasa, termasuk dalam hal beragama dan mengekspresikan budaya. Hal ini membuat tempat ibadah Agama Konghucu harus ‘melebur’ ke agama lain. Maka, kelenteng ini menjadi tempat ibadah umat Tridharma; Buddha, Tao, dan Konghucu. Dalam walking tour edisi Pecinan yang pernah gua ikuti sewaktu kuliah, diceritakan bahwa orang Tionghoa Semarang bahkan harus 'memotong' atap rumahnya yang berbentuk 'pelana kuda' untuk menghilangkan identitas ke-China-annya.

Baca Juga:


Wisata Malam di Pecinan Semarang

Berkunjung ke Pagoda Tertinggi di Indonesia

Jejak Cheng Ho di Kelenteng Sam Poo Kong

Kembali ke Tay Kak Sie, di depan kelenteng ini terdapat sebuah patung Buddha di bawah sebuah pohon boddhi, yang merupakan pohon suci bagi umat Buddhis. Uniknya, di halaman kelenteng ini berdiri dengan gagah patung Laksamana Cheng Ho yang beragama muslim. Dalam berdagangan dan berlayar, Cheng Ho sangat menujunjung tinggi nilai toleransi. Salah satu bentuk toleransinya adalah, diperbolehkannya anak buah kapal (ABK) yang beragama nonmuslim untuk membawa jimat, patung, dan alat-alat keagamaan lain.

Tay Kak Sie (circa 2017)

Bukan hanya bangunan, pengaruh etnis Tionghoa juga bisa ditemukan di kuliner khas Semarang, yakni Lunpia. Di sebelah Kelenteng Tay Kak Sie terdapat salah satu kedai lunpia paling legendaris se-Semarang, yakni Lunpia Gang Lombok. Rasanya? Beuhh enak banget.. Rebungnya gak bau apek! Pokoknya kalau kalian ke Semarang wajib/kudu/mesti nyobain lunpia Gang Lombok. 

Kedai Lunpia Gang Lombok (circa 2018)

Fiuh, setelah kurang lebih 1 jam berkeliling, akhirnya Tay Kak Sie manjadi penutup dari rangkaian walking tour virtual dengan rute Multiklutural. Kalau misalnya kalian ikut tour regular (bukan virtual), jarak yang kalian tempuh di rute ini sampai 6 km!! Wow luarr biasa gemporrr. Alhasil, rute multikultur ini dinobatkan sebagai rute Bersukariawalk terpanjang. Untung gua ikut yang virtual tour, jadi ga capek, haha! Buat yang pengen ikut virtual walking tour, cus kepoin Instagram @Bersukariawalk, siapa tau bisa ikut tur gratis kayak gini lagi 🤣.

Sampailah kita di kesimpulan bahwa Semarang memang tidak dianugerahi oleh iklim yang sejuk, pantai yang indah, maupun gedung-gedung pencakar langit yang semampai. Tetapi, Semarang diberi keistimewaan berupa masyarakat dan budayanya yang multikultur namun tetap hidup dalam persatuan.

Dan, sebagai orang yang pernah 4 tahun tinggal di Semarang, gua bisa 1000% menjamin bahwa Semarang adalah definisi sesungguhnya dari miniatur Indonesia yang berbhinneka. Terima kasih Semarang karena telah mengajarkan arti kerukunan yang sesungguhnya.

 

Jatuh bangunnya negara ini, sangat tergantung dari bangsa ini sendiri. Makin pudar persatuan dan kepedulian, Indonesia hanyalah sekedar nama dan gambar seuntaian pulau di peta.

-Mohammad Hatta

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.