Awal Mula Jakarta di Pelabuhan Sunda Kelapa

Yeay! Setelah puluhan purnama, akhinya Jakarta Good Guide kembali ngadain walking tour offline lagi! Sebelumnya, selama masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB), Jakarta Good Guide hanya mengadakan jalan-jalan virtual. Walking tour lapangan ditiadakan sementara untuk menghindari penularan Covid-19.

BTW terakhir gua ikut Walking tour udah cukup lama, sebelum pandemi masuk ke Indonesia, sekitar Januari 2020. Itu artinya udah lebih dari 1 tahun gua ga ikut walking tour by Jakarta Good Guide.

Di walking tour perdana 2021 ini, ada banyak rute yang ditawarkan. DAN SEMUANYA MENARIK DONG!! Andai w bisa membelah diri dan ikut semuanya haha. Kemudian gua mengajak teman kuliah yang kebetulan kerja di Jakarta, yakni Nisaulfathona alias Nisul. Nah Nisul ngajak temen kerjanya, namanya Lentini. Setelah berpikir panjang x lebar x tinggi, akhirnya  kami memutuskan akan ikut walking tour rute Sunda Kelapa.

Hari H, gua dan Nisul janjian langsung di meeting point yang ditentukan, yakni Indomaret Sunda Kelapa. “Oke, daripada nge-gojek mending naik Trans ah,” pikir gua. Selain lebih murah, kebetulan rumah gua deket sama halte TransJakarta PGC. Nah, saat itu saldo kartu flazz BCA gua lagi kosong. Maklum selama pandemi ga pernah naik TJ. Gua pikir bisa lah ya top up di halte TJ kayak biasa.

TERNYATA gengs, sekarang halte TJ ga bisa top up kartu flazz BCA dong!! Bisanya cuma kartu uang elektronik yangzsety7 disediakan bank BUMN/BUMD seperti Bank Mandiri, BNI, Bank DKI. Anjir! Setahun lebih ga naik TJ ternyata banyak banget perubahan di TransJakarta..

Karena waktunyaudah mepet dan takut telat, akhirnya gua pesen gojek dari PGC ke Sunda Kelapa. Bayangin naik gojek dari Timur ke Utara, ngelewatin 4 Kotamadya. Kalian tahu gua abis berapa duit? Rp 72.000 gengs… Rp 72.0000 :”””). Gapapa lah ya, demi sebuah walking tour yang telah lama ku idamkan.

"Pak bisa tolong agak cepet gak? Nanti saya ketinggalan rombongan 😭😭" 

Karena masih dalam masa pandemi, walking tour dilakukan dengan sejumlah protokol kesehatan. Yang paling utama, peserta wajib memakai masker. Jumlah peserta dalam satu grup juga dibatasi, yakni maksimal 7 orang dengan 1 orang pemandu. Grup kecil gua akan dipandu oleh Kak Maria atau yang akrab disapa Kak Ibek. Perjalanan menjelajahi pelabuhan tertua di Pulau Jawa pun dimulai.

Tour guide kita kali ini

Pelabuhan Sunda Kelapa memegang peranan penting dalam sejarah Ibukota. Pelabuhan yang terletak di Kecamatan Penjaringan ini merupakan pelabuhan milik Kerajaan Sunda atau yang lebih dikenal sebagai Kerajaan Padjadjaran. Namun, Pelabuhan Sunda Kelapa konon sudah ada sejak abad ke-5 dan awalnya merupakan pelabuhan milik kepemilikan Kerajaan Tarumanegara. Namun pada abad ke-12, pelabuhan ini berpindah tangan menjadi milik Kerajaan Sunda.

Kontainer fotogenik di Sunda Kelapa

Nah, sejak Kerajaan Sunda berhasil menguasai, Pelabuhan Sunda Kelapa berkembang menjadi salah satu pelabuhan penting di pulau Jawa, mengingat lokasinya yang cukup strategis. Kemasyhuran Sunda Kelapa turut menundang pedagang – pedagang asing untuk berdagang, tidak terkecuali pedagang dari Portugal.

Sebuah kapal di Sunda Kelapa

Bangsa Portugis yang saat itu menguasai Malaka (Malaysia) bahkan membangun relasi dengan Kerajaan Sunda hingga diizinkan membuat kantor dagang di sekitar pelabuhan. Kerajaan Sunda kemudian menjalin kerjasama dengan bangsa Portugis untuk melindungi wilayah pelabuhan dari kerajaan lain yang menguasai utara Jawa, seperti Kerajaan Demak dan Cirebon. Perjanjian ini dituliskan dalam sebuah prasasti bernama “Padrao

Singkat cerita, Pada 22 Juni 1527, pasukan gabungan Kesultanan Demak-Cirebon di bawah pimpinan Fatahillah berhasil menguasai Sunda Kelapa dan mengubah nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta (Jaya berarti kemenangan, dan Karta berarti Kota). Peristiwa ini dikenang sebagai hari jadi Kota Jakarta.

Jayakarta sempat berulang kali bersalin nama. Setelah VOC berhasil menundukkan Jayakarta di bawah kepemimpinan Jan Pieterszoon Coen, Jayakarta berubah nama menjadi Batavia. Nama ‘Batavia’ konon berasal dari nama suku Batavier, nenek moyang bangsa Belanda. Nama Batavia digunakan selama periode 1619-1942.

Pada 1942 hingga sekarang, nama ‘Jakarta’ akhirnya digunakan untuk menyebut Ibukota Negara kita tercinta ini.

“Terus, Pelabuhan Sunda Kelapa saat ini masih aktif gak, Wa?”

Jawabannya : masih. Tapi, saat ini Sunda Kelapa hanya melayani jasa ekspedisi kapal antar pulau, sedangkan untuk perdagangan internasional saat ini berlangsung di Pelabuhan Tanjung Priok, yang saat ini menjadi pelabuhan terbesar dan tersibuk di Indonesia. Adapun sejumlah barang yang masih diangkut di Pelabuhan ini antara lain tepung terigu hingga semen.

Geliat ekonomi di Pelabuhan Sunda Kelapa

Barang-barang ini diangkut dengan kapal pinisi yang terbuat dari kayu. Sekilas kapal-kapal ini nampak kusam. Memang, rata-rata kapal pinisi di Sunda Kelapa sudah berusia sekitar 20-30 tahun. Angka tahun pembuatan kapal-kapal ini dipatri di bagian depan kapal.

Deretan Kapal Pinisi

Nah, ada satu mitos/kepercayaan yang beredar di kalangan awak kapal/pengusaha logistik di Pelabuhan Sunda Kelapa. Apa itu?

Konon, ketika dua pihak akan melakukan jual beli kapal pinisi, kedua pihak harus benar-benar ikhlas dan rela, dalam artian tidak ada pihak yang dirugikan dan benar-benar mencapai ‘win-win solution’. Kata Kak Ibek, jikalau satu pihak merasa terganjal, akan ada beberapa hambatan yang melanda kapal ketika berlayar nantinya. Kembali lagi, ini mitos loh ya…

Sore di Sunda Kelapa

Let's take a selfie!

Setelah puas foto-foto di Sunda Kelapa, Kak Ibek kemudian membawa rombongan ke salah satu cagar budaya paling ikonik di Jakarta Utara, yakni Menara Syahbandar. Sepanjang jalan menuju Syahbandar, kita akan dibuat kagum sekaligus deg-degan, karena banyak banget Transformer alias kendaraan berat yang lalu lalang.

Menara Syahbandar dengan kali keruh di sekelilingnya

Konon, kehadiran para transformer ini pula yang membuat Menara Syahbandar menjadi sedikit miring. Ditambah, menara Syahbandar dibangun di atas tanah rawa yang kurang solid. Kalau kalian punya kesempatan, coba deh naik ke puncak menara ini. Dijamin 100% miring :”). Untuk membaca pengalaman gua naik ke Menara Pissa-nya Jakarta, bisa dibaca di sini saat walking tour akhir 2019.

Pelabuhan Sunda Kelapa dari kejauhan, dilihat dari atas Menara Syahbandar.
Dari kejauhan juga nampak menara Masjid Luar Batang

Rombongan kemudian bergeser ke Museum Bahari, yang letaknya sekitar 50 meter dari Menara Syahbandar. Sama seperti Menara Syahbandar, sebenarnya gua sudah pernah mengunjungi museum ini pada walking tour akhir 2019 kemarin.

Senja di Museum Bahari 

Ada yang unik dari tampilan gedung museum ini, yakni pintunya yang lebih rendah dari permukaan tanah. Kalian pasti udah tahu dong apa penyebabnya? Yap, benar. Turunnya permukaan tanah Jakarta membuat gedung museum Bahari juga turut menurun, sehingga pintu museum menjadi lebih rendah dari permukaan jalan.

Singkat cerita, bangunan museum ini dibangun pada 1652, yang pada awalnya berfungsi sebagai gudang rempah-rempah. Di dalam museum ini, dipamerkan jenis rempah-rempah yang menjadi komoditas andalan Hindia Belanda pada zaman kolonial.

Koleksi rempah-rempah di Museum Bahari (2019)

Percaya gak, demi rempah-rempah, Belanda rela menukar wilayah Nieuw Amsterdam (Manhattan, New York), dengan sebuah pulau di Maluku penghasil buah pala, yakni Pulau Run. Singkat cerita, Belanda dan Inggris bersitengang memperebutkan kekuasaan di Pulau Run. Untuk menyelesaikan masalah ini, dikeluarkan sebuah traktat (perjanjian), yang mana salah satu isi dari traktat tersebut adalah Inggris harus mengakhiri kekuasaan mereka di Pulau Run dan menyerahkannya kepada Belanda. Sebagai gantinya, Belanda menyerahkan Nieuw Amsterdam di Manhattan, New York kepada pihak Inggris.

Berselang 3,5 abad, Nieuw Amsterdam kini berkembang menjadi kawasan bisnis terbesar di dunia. Sedangkan kehidupan Pulau Run berjalan sangat pelan, sejalan dengan harum buah pala yang tak lagi tercium oleh bangsa asing bahkan bangsanya sendiri... Wow :”)

Perjalanan kemudian dilanjutkan menuju tempat lainnya, mulai dari gedung Galangan VOC hingga Jembatan Kota Intan. Untuk lengkapnya, kalian bisa baca sejarah dua bangunan ini di edisi walking tour sebelumnya *mager ah nulis ulang wkwk*

Galangan VOC

Walking tour akhirnya berakhir di lokasi yang dulunya berdiri sebuah gerbang mewah bernama Gerbang Amsterdam. Gerbang tersebut berada di persimpangan Jalan Cengkih (Prinsenstraat), Jalan Tongkol (Kasteelweg), dan Jalan Nelayan Timur (Amsterdamschegracht) sekarang. Orang-orang yang akan menuju balai kota (Stadhuisplein) akan melewati gerbang mewah ini.

Namun, gerbang mewah yang dibangun pada awal abad ke-18 ini tinggal kenangan. Awalnya, sisi kanan-kiri gerbang ini dihancurkan seiring dengan mulai beroperasinya trem kereta kuda April 1869. Kemudian, keseluruhan bangunan ini dihancurkan pada awal 1950-an seiring dengan pelebaran jalan.

Gerbang Amsterdam, dulu dan sekarang

Usailah sudah perjalanan menyusuri pelabuhan Sunda Kelapa dan sekitarnya yang menjadi cikal bakal berdirinya Kota Jakarta. Perjalanan kali ini membuktikan bahwa pelabuhan memegang peranan penting sejak dulu. Bahkan, banyak kota-kota di Indonesia yang berkembang pesat karena punya pelabuhan laut yang cukup strategis, seperti Palembang dan Semarang.

Untuk kalian yang mau ikut walking tour bisa banget pantengin Instagram @jktgoodguide karena bakal ada rute menarik setiap pekannya. Insya Allah tour ini aman karena menerapkan protokol kesehatan yang ketat.


Perlakuan paling konyol yang sering diterima sejarah adalah manusia tak pernah mau belajar darinya.

G.W.F. Hegel


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.