Jalan-Jalan-Jajan di Glodok, Pecinan-nya Jakarta


Apa yang ada di benak kalian jika mendengar kata Glodok? Tempat jual beli barang elektronik murah meriah? Pusat obat-obatan herbal? Atau mungkin pusat VCD bajakan di Jakarta? Apapun itu, kelurahan yang terletak di Jakarta Barat ini menjadi salah satu tempat bersejarah bagi keturunan Tionghoa di Indonesia.

Tulisan kali ini masih seputar kegiatan walking tour. Pliss jangan bosen yak pembaca setiakuu WKWK. Kali ini rute yang gua pilih adalah Chinatown Jakarta a.k.a Glodok. Akhirnya, kesampean juga ikut rute ini setelah sebelumnya gua gagal ikut. Dan kali ini gua ditemani oleh dua teman kuliah gua, yakni Aziz dan Aam.  

Walking tour kali ini akan dipandu oleh Mas Farid yang usut punya usut merupakan salah satu orang yang menginisasi berdirinya Jakarta Good Guide. Ternyata, yang ikut walking tour kali ini gak cuma orang lokal aja loh, ada juga perserta dari Inggris dan Jerman. So, tour kali ini akan menggunakan bahasa Indonesia dan Inggris. Yha sebagai Warga Negara Condet sih w gak keberatan ya. You know me so well lah (?).

Pemberhentian pertama adalah Rumah Obat (R.O) Tjap Kupu-Kupu Tay Ho Tong. Meski kelihatan sederhana, namun di tempat inilah sejarah obat herbal Indonesia bermula. Tahu jamu cap K*pu-Kupu kan? Itu loh obat yang pahitnya nauzubillah. Biasa diminum pas lagi diare, mencret-mencret, mules dsb.


Rumah Obat (R.O) Tjap Kupu-Kupu Tay Ho Tong
Nah, awalnya toko yang didirikan pada 1935 ini hanya mengimpor obat-obatan herbal dari China dan Hong Kong. Namun seiring berjalannya waktu, akhirny pemilik toko mulai meracik dan merancang produk obat sendiri. Lahirlah obat Tay Pin San atau yang dikenal dengan jamu Tjap Koepoe-Koepoe, salah satu obat pencernaan paling mujarab.

Awalnya Rumah Obat ini hanya melayani penduduk sekitar yang beretnis Tionghoa. Namun, lama kelamaan popularitas obat ini mulai menyebar se-antero Jakarta. Pada 1963, jamu Tjap Koepoe-Koepoe resmi dijual di seluruh outlet di tanah air.

Tempat kedua yang kami kunjungi adalah Pantjoran Tea House. Gedung yang dibangun tahun 1635 ini terletak di Jalan Pancoran Raya Nomor 4-6, persis di ujung jalan yang menghubungkan Jalan Pintu Besar Selatan yang mengarah ke Kota Tua. Sebelum berubah fungsi menjadi Tea House (kedai teh) pada 2015, bangunan ini merupakan sebuah toko obat bernama Apotheek Chung Hwa yang didirikan pada 1928.

Pantjoran Tea House
Selain bangunan yang otentik, salah satu keunikan kedai teh ini adalah adanya tradisi untuk menyediakan delapan teko berisi teh di pinggir jalan. Tradisi ini disebut ‘Patekoan’. Nama ‘Patekoan’ berasal dari kata ‘Pat’ yang berarti delapan dan ‘Teko’ yang berarti teko untuk minum teh. Sajian teh ini diperuntukkan buat siapa saja yang lewat di depan toko ini. Masalah kebersihan? Jangan khawatir. Manejemen toko akan mencuci dan mengganti gelas apabila habis digunakan. 

Tradisi ini sedikit mirip dengan tradisi Orang Jawa yang zaman dulu selalu menyediakan teko/kendi berisi air di depan rumah untuk diminum oleh orang yang dalam perjalanan (musafir). Duh, dari dulu orang Indonesia emang ramah-ramah ya.

Baca Juga : Wisata Malam di Pecinan Semarang

Selain teh, kedai ini menyediakan berbagai kuliner oriental seperti siomay, dinsum, hingga lunpia. Kata Mas Farid, siomay di sini adalah salah satu yang terenak loh. Sayang kami gak bisa mampir buat icip-icip karena keterbatasan waktu. Bagi yang ingin mampir, Pantjoran Tea House buka dari jam 7 pagi sampai 9 malam.


Tradisi Patekoan di Pantjoran Tea House
Asal Mula Nama Glodok
Terbentuknya Glodok yang merupakan kantong keturunan Tionghoa di Jakarta tidak bisa lepas dari tragedi Geger Pecinan. Singkat cerita, kala itu kota Batavia menjadi salah satu kota Bandar paling maju di Asia. Hal ini mengundang datangnya orang-orang Tionghoa dari China daratan untuk ‘mengadu nasib’ ke Batavia. Lama kelamaan, populasi orang Tionghoa pun semakin meningkat.

Adriaan Valckenier, Gubernur Jenderal VOC saat itu merasa ‘gerah’ dengan membludaknya populasi orang Tionghoa. Istilahnya, VOC kala itu takut kalah saing dengan orang Tionghoa. Mulailah upaya untuk mengurangi populasi orang Tionghoa di Batavia, yakni dengan mengirimkan mereka ke wilayah koloni Belanda lain seperti Sri Lanka atau Afrika.

Adriaan Valckenier
Namun, terdengar kabar bahwa orang-orang Tionghoa yang dibawa ke Sri Lanka atau Afrika justru dibuang ke laut di tengah perjalanan. Kabar ini membuat orang Tionghoa di Batavia menjadi marah dan merencanakan untuk melakukan pemberontakan terhadap VOC.

Akhirnya, Adrian Valckenier memutuskan untuk ‘membasmi’ orang Tionghoa baik yang tinggal di dalam maupun di luar tembok Batavia. Tanpa ampun, pasukan VOC membasmi kurang lebih 10.000 orang Tionghoa. Kebanyakan dari mereka dipenggal kepalanya secara membabi buta.

Adrian Valckenier divonis bersalah atas kekejian ini. Ia pun dipenjara dan dijatuhi hukuman mati. Tapi sayangnya, ia keburu meninggal di sel sebelum dieksekusi mati.

Nah, sebagai bentuk permintaan maaf kepada Orang Tionghoa, Belanda akhirnya memberi kawasan khusus kepada Orang Tionghoa untuk bermukim. Kawasan ini tidak jauh dari pusat Kota Batavia. Kawasan inilah yang kita kenal dengan Glodok.

Dari tadi udah cerita panjang lebar tentang Glodok, tapi udah tahu asal-usul Glodok belom? Asal muasal nama ‘Glodok’ sendiri ada bermacam versi. Namun yang paling populer adalah konon dulu di tempat ini ada pancuran air yang berbunyi ‘grojok grojok grojok’. Karena orang Tionghoa sulit mengucap huruf R, akhirnya lama kelamaan tempat ini disebut dengan Glodok

Kawasan Glodok juga tidak lepas dari sasaran amuk masa saat kerusuhan rasial tahun 1998. Banyak pertokoan dan bangunan yang menjadi sasaran amuk masa kala itu. Perempuan keturunan Tionghoa juga menjadi korban pemerkosaan. Alhasil, banyak keturunan Tionghoa yang akhirnya eksodus ke Negara lain seperti Australia dan Singapura. Namun, kini Glodok telah bangkit kembali dan menjadi salah satu tulang punggung ekonomi Jakarta.  

Bangunan di sepanjang Jalan Gajahmada ini banyak yang ditinggalkan penghuninya sejak kerusuhan 1998
Lanjooot ke tujuan selanjutnya yakni Pasar Petak Sembilan. Pasar ini merupakan salah satu penopang perekonomian kawasan Glodok. Pasar Petak Sembilan seperti halnya pasar tradisional pada umunya yang becek dan penuh sesak, namun ciri khas pasar ini adalah barang-barang yang dijual.

Karena terletak di Glodok yang notabene nya adalah kampong pecinan, maka barang-barang yang dijual di sini gak jauh-jauh dari pernak-pernik khas Tionghoa. Tapi, di pasar ini juga jual sayur mayor, buah-buahan, dan daging-dagingan (ayam, ikan, babi) seperti halnya pasar pada umumnya. 
Pasar Petak Sembilan
Tapi, ada satu benda unik yang dijual di sini, yakni teripang alias timun laut. Tau teripang kan? Itu loh Kevin si ketimun laut sombong yang ada di serial kartun Spongebob. Pernah nonton Spongebob, kan?

Nah guys, dari walking tour ini kita dapat mengambil hikmah bahwa sifat sombong dapat membawa petaka. Buktinya adalah si Kevin ini. Selama hidupnya dia menyombongkan jabatannya sebagai ketua club Jelly Spotters, tapi akhirnya dia ditangkap nelayan dan dijual di Pasar Petak Sembilan ini 😭😭
Poor Kevin :(
Setelah menyusuri Pasar Petak Sembilan yang lumayan puanjang, kami akhirnya tiba di sebuah kelenteng tertua di Jakarta, yakni Kelenteng Jin De Yuan. Klenteng yang dibangun tahun 1650 ini juga dikenal dengan nama Kelenteng Kim Tek Le yang bermakna Kelenteng kebajikan emas. Dewi Kwan Im atau Dewi Welas Asih merupakan dewi yang paling banyak dipuja di tempat ini.
Kelenteng Jin De Yuan
Pada masa Orde Baru berkuasa, kelenteng ini diubah namanya agar lebih terdengar Indonesiawi, yakni menjadi Vihara Dharma Bhakti. Yaa seperti yang kita ketahui, segala aktivitas dan atribut berbau Tionghoa sangat dibatasi saat Orde Baru berkuasa.



Pada saat berkunjung ke sini Agustus lalu, vihara ini sedang menggelar perayaan Hari Raya Ulambana atau Sembahyang Cioko (Sembahyang Rebutan). Upacara ini juga dikenal dengan nama Hari Raya Setan (Ghost Festival). Namun, sejatinya upacara ini digelar untuk menghormati arwah leluhur.
Sembahyang Cioko
Destinasi kami selanjutnya masih tempat ibadah, namun kali ini bukan kelenteng maupun vihara melainkan sebuah gereja. Biasanya kita mengenal gereja sebagai tempat ibadah dengan gaya neo-gotik, neo-klasik, ataupun art deco. Tapi, gereja ini justru lebih mirip bangunan kelenteng dengan atap membumbung khas China. Gereja tersebut adalah Gereja Santa Maria de Fatima atau yang biasa disebut Gereja Toasebio.
Gereja Santa Maria de Fatima
Sebelum berubah fungsi jadi gereja, bangunan ini merupakan rumah saudagar Tionghoa. Kemudian, Vikaris Apostolik Jakarta membeli tanah serta bangunan itu dan mengubahnya menjadi gereja tanpa mengubah ciri khas arsitektur Tionghoa. Karena berdiri di kawasan Pecinan, maka mayoritas jemaat di gereja ini adalah keturunan Tionghoa. Oleh karena itu, setiap seminggu sekali diadakan misa khusus berbahasa Mandarin.

Tak hanya fasad depan, bagian dalam (interior) gereja ini juga bernuansa khas Tionghoa. Selain dominasi warna merah, sentuhan gaya Tionghoa juga dapat dilihat dari adanya gerbang bulan (Chinese Moon gate) di bagian kanan dan kiri altar.
interior Gereja Santa Maria de Fatima
Nama ‘Santa Maria de Fatima’ diambil dari kisah penampakan Bunda Maria kepada tiga anak gembala di Kota Fatima, Portugal, pada 13 Mei 1917. Ketiga anak gembala tersebut adalah Lucia dos Santos (10 tahun), Jasinta Marto (7 tahun), dan Francesco Marto (9 tahun). Peristiwa sakral ini diabadikan di Gua Maria yang terlerak di sisi kanan bangunan gereja.

Trivia : Maria de Fatima dan Tiga Anak Gembala

Gua Maria di Gereja Santa Maria Fatima
Gua Maria di Gereja Santa Maria de Fatima menggambarkan penampakan Bunda Maria kepada tiga anak gembala. Dari patung ketiga anak gembala tersebut hanya Lucia yang belum memiliki lingkaran suci (halo/aureola). Ini karena hanya Lucia yang belum diangkat menjadi orang suci (santa). Sementara kedua rekannya, Jasinta dan Francesco telah dinobatkan sebagai orang suci (saint). Mereka dikanonisasi pada 13 Mei 2017 di Basilica of Our Lady of the Rosary, Fátima, Portugal oleh Paus Francis.

Tempat ibadah terakhir yang kami kunjungi adalah Vihara Dharma Jaya Toasebio. Bangunan tua yang terletak di Jalan Kemenangan III ini merupakan salah satu vihara tertua di Jakarta. Nama ‘Toasebio’ berasal dari dua kata, yakni ‘Toase’ yang berarti pesan dan ‘Bio’ adalah kelenteng.


Baca Juga : Kepingan Sejarah Antara Rasuna Said dan Casablanca

Vihara Dharma Jaya Toasebio
Bangunan ini dibangun tahun 1700-an dan sempat dibakar oleh Belanda saat peristiwa Geger Pecinan. Hingga kini bentuk bangunan vihara masih asli dan tidak ada perubahan yang berarti sejak dibangun kembali tahun 1754. Sama seperti Kelenteng Jin De Yuan, pada zaman Orde Baru penyebutan nama Toasebio diganti dengan nama Wihara Dharma Jaya.

Aziz lagi fokus fotoin lilin berbentuk pagoda
Salah satu keunikan dari Vihara ini adalah adanya dupa berbentuk spiral yang dipajang di halaman depan vihara. Sebelumnya gua pernah melihat dupa yang serupa di Kelenteng Tay Kak Sie di Pecinan Semarang. Konon, dupa berbentuk spiral ini lebih tahan lama. Jadi bisa lebih hemat deh~~

Baca Juga : Melihat Lebih Dekat Kelenteng Tay Kak Sie Semarang

Selain dupa spiral, hal unik lain yang ada di Vihara Toasebio ini adalah adanya tempat lilin berbentuk pagoda. Eits, tapi bukan lilin asli ya tetapi lilin yang terbuat dari lampu kecil yang disusun sedemikian rupa sehingga berbentuk pagoda. Satu buah lilin tertulis satu nama kolega/kerabat yang sudah almarhum. Nantinya, lilin-lilin ini akan didoakan oleh pihak vihara.

BTW, aktivitas ibadah di vihara Toasebio ini lebih intens dibanding di Kelenteng Jin De Yuan. Asap hasil pembakaran dupa maupun lilin cukup pekat dan membuat mata lumayan pedih. 

Gak Cuma kelenteng atau gereja bergaya Tionghoa, kawasan Pecinan Glodok juga menjadi surga bagi pecinta kuliner, khususnya makanan Tionghoa. Adalah Gang Gloria (Gloria Food Alley), salah satu pusat kuliner di kawasan Petak Sembilan. Di gang ini, wisatawan bisa menemukan bermacam jenis makanan. Makanan lokal? Ada. Chinese food? Ada. Makanan haram? Ada. Makanan halal? Juga ada. Tinggal dipilih sesuka hati.

Dari sekian banyaknya kuliner di Gang ini, ada beberapa kuliner yang wajib dicoba oleh wisatawan. Ada Bakmie Amoy (the most famous bakmi in Glodok ceunah), Soto Betawi Afung, dan Kedai Kopi Tak Kie yang telah berdiri sejak 1927. WOW! Apa gak pegel ya berdiri sejak 1927? *krik*

Di sekitar Gang Gloria juga ada gorengan legendaris yang antimainstream, yakni Cempedak Goreng Cik Lina. Gua gak sempat buat beli sih, tapi dari jauh aromanya beuhhhhhh wangi binggo. Antreannya juga mengular udah kayak mau masuk Dufan. Bahkan, ada beberapa warga negara asing yang waktu itu tampak mengantre.

Cempedak Goreng Cik Lina
Selain cempedak goreng, jajanan lain yang wajib banget buat dicobain adalah Pia Lao Beijing. 

Bakpia paling endul se-Glodok
Katanya sih penjualnya asli orang Beijing, tapi sekarang sudah jadi WNI. Ada beberapa varian rasa, mulai dari keju, kacang ijo, sampai durian. Gua dan Aziz pesan yang rasa duren.

Yang unik dari bakpia ini adalah ukurannya. Buset ini bakpia atau dorayaki? WKWKW. Gede banget cong! Dan isiannya beuhhhhh banyak bangettt. Sebagai pecinta duren, rasanya gua telah menemukan definisi surga dunia yang sesungguhnya. 

Harganya? CUMA RP 5.000 per biji! Murah gak???! *ngegas*. Kenyang dan puas banget sih gokil! Rasanya gua bakal beli bakpia ini lagi jika ada kesempatan buat balik ke Glodok.
Baca Juga : Review Jujur Lunpia Gang Lombok Semarang

Oh iya, tepat di depan toko Bakpia ini ada juga warung makan khusus vegertarian. Segala jenis makanan di sini terbuat dari sayur-sayuran. Ada Sate dari jamur hingga rendang dari jamur. Unik!

Nah, berikut ini ada sedikit tips jika ingin pergi dan menjelajahi kawasan Glodok :
  1. Bawa bekal minum yang banyak karena dijamin jalan-jalan keliling Glodok dan Petak Sembilan bakal menguras tenaga.
  2. Lahan parkir di sekitar sini agak sulit. Saran gua, lebih baik naik angkutan umum (TransJakarta). Ada halte Transjakarta Glodok yang lokasinya berdekatan dengan Petak Sembilan. 
  3. Jaga barang bawaan kalian terutama dompet, HP, dan sebagainya. Yah, namanya kejahatan kan bisa terjadi di mana sahaja~
  4. Tetap jaga kesopanan ketika masuk rumah ibadah yang ada di sini, Jangan sampai mengganggu umat yang sedang beribadah.
  5. Asap hasil pembakaran terutama di Vihara Toasebio cukup pekat dan membuat mata lumayan perih. Bagi yang punya riwayat sakit pernapasan, lebih berhati-hati ya!

Sebenarnya kawasan Glodok ini berpotensi jadi kawasan wisata andalan Jakarta. Karena selain memang sudah terkenal sebagai pusat elektronik, Glodok juga punya sisi historis yang tentunya menarik bagi para wisatawan. Ditambah, Glodok juga kaya kuliner yang siap menggoyang lidah para food hunter.

Banyak kok kota-kota di Asia Tenggara yang ‘mengandalkan’ kawasan Pecinan sebagai tempat wisata, seperti Petaling Street di Kuala Lumpur, Khaosan Road di Bangkok, Binondo di Manila, dan Chinatown di Singapura. So, gua berharap adanya niat dari pemerintah daerah maupun pusat untuk merevitalisasi kawasan ini. 
Thank you Jktgoodguide for the amazing experience!
People without the knowledge of their past history, origin and culture is like a tree without roots
-Marcus Garvey

Jadi, kapan kalian mau explore Glodok?

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.