Mencari Olivia Raffles Hingga Soe Hok Gie di Museum Taman Prasasti (Part II)


Petualangan di Kebon Jahe Kober masih berlanjut dan hal ketiga yang gua cari adalah batu nisan yang ‘mengandung’ unsur freemasonry. Mungkin kata ‘freemasonry’ masih asing di telinga kita. Intinya freemasonry ini adalah gerakan bawah tanah dan rahasia. Mereka memiliki simbol-simbol rahasia, salah satu yang gua temukan adalah lambing bone and skull (tengkorak dan sepasang tulang yang bersilang). Lambang ini gua temukan di barisan kuburan paling belakang museum. Simbol tengkorak dan tulang belulang ini adalah perlambang dari konsep Memento Mori (Pesan ingat kematian) dalam ajaran Freemansory. Seketika gua merasa seperti James Bond yang berhasil memecahkan simbol rahasia *ciahhh.

Simbol Bones and skull di salah satu makam, sepertinya pindahan dari Museum Wayang karena ada kode HK

Untuk artikel lengkap tentang freemasonry di Batavia bisa dibaca di sini


Makam selanjutnya yang gua cari adalah makam dari Olivia Mariamne Devenish Raffles, istri dari Thomas Stanford Raffles yang diangkat sebagai Gurbenur Jenderal Hindia Belanda pada tahun 1811 (ketika Kerajaan Inggris mengambil alih tanah jajahan dari Kerajaan Belanda). Olivia lahir di India pada 1771 dan dibesarkan di Irlandia, kemudian menikah dengan Raffles di London pada tahun 1805. Olivia mengikuti suaminya pindah ke Bogor (yang kala itu bernama Buitenzorg).

Namun sayang, Olivia meninggal dunia pada usia 43 tahun akibat malaria dan dikuburkan di Pemakaman Kebon Jahe Kober. Sepeninggal Olivia, Raffles pun membangun sebuah monumen persembahan cinta yakni monumen Lady Raffles di dalam Kebun Raya Bogor. Uuuuuu Om Raffles so sweet juga ya.

Makam Olivia Raffles Thomas
Kebon Jahe Kober merupakan makam elit pada masanya. Yang bisa dikuburkan di sini hanyalah para bangsawan dan orang penting pemerintahan. Salah satunya adalah Marius Hulswit yang merupakan arsitek dari Gereja Santa Maria Pelindung Diangkat Ke Surga atau yang lebih familiar disebut Katedral Jakarta. Hal ini dibuktikan oleh adanya prasasti di dinding pintu utama Gereja.
Makam Marius Hulswit
Hal lain yang mencolok di Museum Taman Prasasti adalah adanya nisan hijau berbentuk katedral milik Panglima Perang bernama J. J. Perje. Beliau merupakan panglima perang di Jawa yang mendapatkan penghargaan militer Orde Militer Willem Kelas 4 dari Kerajaan Belanda. 

makam J. J. Perje
Ada pula makam dari Adam Caroli Claessens yang merupakan seorang pastor agama Katolik. Dia datang ke nusantara pada 1847 dan ditasbihkan menjadi uskup Batavia pada tahun 1875. Salah satu jasa Claessens adalah membangun kembali Katedral Jakarta yang roboh pada tahun 1890.

makam dari Adam Caroli Claessens
Bukan hanya Adam Caroli Claessens, ada juga monumen pastor agama Katolik lainnya, yakni Pastor Herikus Van Der Grinten. Pastor Batavia ini adalah pendiri yayasan Vincentius yang hingga saat ini masih ada dan memiliki panti asuhan serta beberapa sekolah.
Patung Pastor Herikus Van Der Grinten
Hmmmm sepertinya ada yang kurang. Peti mati Soekarno-Hatta, sudah. Makam Olivia Raffles, sudah. Nisan yang ada symbol freemasonry, sudah. Makam Soe Hok Gie juga syudah. Berarti tinggal satu daftar pencarian gua yang belum ketemu: PATUNG THE CRYING LADY! Padahal udah keliling muter-muter ke sana dan kemari dan tertawa (?) tapi kok masih ga ketemu. Nah pas lagi cari patung the crying lady, gua malah menemukan sebuah rumah dengan cat berwarna putih beratap hijau. 

Baca Juga :


Kepingan Sejarah di Kuningan dan Casablanca


Menjadi Saksi Kemegahan Katedral Jakarta


Misteri Museum Wayang Jakarta

Ternyata ini adalah makam milik keluarga A. J. W. Van Delden, seorang juru tulis di Indonesia Timur yang pernah menjabat ketua perdagangan VOC. Ada yang menyebut bangunan ini sebagai 'rumah bumi', namun ada juga yang menyebutnya 'rumah tulang' karena ketika pembongkaran besar-besaran dulu, sebagian tulang belulang disimpan sementara di bangunan ini.

Rumah Tulang
Kurang Terawat dan Tidak Diminati
Mungkin kalimat di atas mampu menggambarkan kondisi Museum Taman Prasasti saat ini. Percaya ga percaya, waktu itu cuma 2 orang pengunjung yang datang. Mungkin pihak museum perlu melakukan inovasi agar Museum Taman Prasasti mampu menarik minat wisatawan. Perawatan berkala juga wajib dilakukan karena nisan dan patung di sini rata-rata berumur ratusan tahun. Sepengamatan gua yang sok tahu ini, banyak banget patung-patung yang anggota tubuhnya rusak. Ada yang tangannya putus lah, sayapnya patah lah, mukanya udah abstrak lah, bahkan ada yang kepalanya termutilasi :(

si neng tangannya patah :(
Gak sampai di situ, Yang lebih parahnya lagi…yang bikin ngenes hati adalah…. Gua menemukan tumpukan nisan dan patung yang sudah rusak dan dibiarkan begitu aja. Sungguh pemandangan yang menyesakkan dada :”)

kumpulan batu nisan rusak yang berserakan dan didiamkan begitu saja...
Karena udah capek dan bingung mau ngapain lagi, akhirnya gua putuskan untuk pulang. Huhu bye bye the crying lady, mungkin kita ga berjodoh. Dan saat kaki ini beranjak pulang, tiba-tiba gua melihat sesosok wanita berbaju putih, muka tertutup tangan, dengan posisi badan tersungkur. Anjirrrr itu THE CRYING LADY!! Woyyy akhirnyaaaaa nemu juga :”). Gua kira letaknya di areal pemakaman, ga taunya patung ini terletak di dekat pintu masuk, padahal posisinya ga jauh dari rumah bumi tadi :”)

The crying lady
Jadi konon patung ini menggambarkan kesedihan seorang pengantin baru yang ditinggal mati oleh suaminya akibat wabah malaria. Namun ada juga yang mengatakan bahwa wanita ini jauh-jauh datang dari Inggris ke Batavia untuk menemui suaminya yang ternyata sudah meninggal akibat malaria. Akibatnya, si wanita tidak bisa menahan kesedihan dan memutuskan untuk bunuh diri. 

Usailah sudah perjalanan kali ini mengunjungi Museum Taman Prasasti. Kepada Bung Soe Hok Gie, Nyonya Olivia, Mister Marius, Pastor Adam Caroli Claessens, dan segenap penghuni pemakaman kebon jahe kober lainnya, saya pamit undur diri~~

Mereka yang tidak mengambil pelajaran dari sejarah, maka mereka ditakdirkan untuk mengulanginya.

-George Santayana 

1 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.