Kapal itu Bernama Indonesia

Tepat 70 tahun lalu, Soekarno yang saat itu mewakili 40 juta rakyat Indonesia mengumandangkan proklamasi yang menandakan kemerdekaan bangsa Indonesia. Tidak ada anugerah terindah bagi suatu bangsa yang terjajah selain kemerdekaan. Kemerdekaan adalah hadiah dari Tuhan yang diperjuangkan lewat pahlawan. Bayangkan, berapa banyak Kusuma Bangsa yang gugur hanya untuk satu kata, yakni Merdeka. Kini, Sudah genap 70 tahun Indonesia lepas dari belenggu penjajahan. Sebuah usia yang relatif tua bagi seorang manusia, namun tidak bagi sebuah Negara. Namun, apakah Indonesia sudah benar-benar merdeka?

Kenyataannya, Indonesia belum benar-benar merdeka. Belum benar-benar merdeka dari kemiskinan. Belum benar-benar merdeka dari kebodohan. Belum benar-benar merdeka dari kesengsaraan. Dan belum benar-benar merdeka dari kemelaratan. Ya, itulah kenyataannya.

Sebuah negara dapat menjadi maju bukan karena kekayaan sumber daya alamnya, tetapi karena kualitas sumber daya manusianya. Salah satu jalan yang dapat ditempuh untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia adalah melalui jalur pendidikan. Namun ironisnya, pendidikan di Indonesia adalah sesuatu yang mahal. Wajib belajar 12 tahun pun hanya berlaku di wilayah Ibukota dan sekitarnya. Di luar daripada itu, mereka para siswa dan orang tua harus membayar mahal untuk merasakan hangatnya bangku pendidikan. 

Itu hanya untuk pendidikan dasar. Belum lagi untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Biaya kuliah di universitas negeri yang notabene nya adalah milik pemerintah pun cukup mengerenyitkan dahi. Untuk meraih gelar sarjana saja harus menghabiskan uang puluhan hingga ratusan juta. Hal ini mengakibatkan masyarakat Indonesia menganggap pendidikan adalah sesuatu yang kurang penting. Akhirnya, mereka pun tidak bersekolah. Ada juga yang bersekolah, tapi paling tinggi hanya tamat SD atau SMP.

Sehingga muncullah mindset 'instan' untuk langsung mencari kerja. Kerjanya pun hanya kerja yang serabutan. Mengapa demikian? Karena sekarang rata-rata pekerjaan yang gajinya lumayan mengharuskan pendidikan terakhir minimal diploma atau sarjana. Mereka yang tidak memenuhi syarat akhirnya menganggur atau bekerja serabutan karena tak mampu memenuhi tuntutan zaman. Padahal pendidikan adalah investasi jangka panjang yang manfaatnya hanya bisa dirasakan di masa depan. Dan bukan tidak mungkin, mindset 'instan' itu akan diturunkan ke anak cucu mereka. Padahal, anak-anak yang cerdas dilahirkan oleh orang tua yang cerdas pula. Itulah Indonesia, belum sepenuhnya merdeka dari kebodohan. Dan kebodohan inilah yang membuat kita hanya diam mematung saat bangsa asing menguras sumber daya alam kita.

Selain pendidikan, Indonesia pun belum benar-benar merdeka di bidang kesehatan. Belum lama ini pemerintah mengeluarkan program JKN dan BPJS yang diharapkan bisa menjadi angin segar bagi masyarakat kurang mampu dalam bidang kesehatan. Tapi realitanya? Masyarakat hanya dijadikan 'sapi perah'. Mereka yang sudah mendaftar dan membayar iuran BPJS pun masih dikenakan biaya rumah sakit yang mencapai berjuta-juta rupiah. Lalu, ke mana perginya uang mereka? Begitu pun dengan program-program kesehatan lainnya yang sama bobroknya. Angin segar itupun berubah menjadi badai yang menambah beban mereka.

Pun begitu dengan pembangunan nasional. Belenggu penjajah masih merantai pembangunan nasional. Rasanya sangat timpang antara pembangunan di Pulau Jawa dan di luar pulau Jawa. Sering kita lihat di media-media bagaimana nasib saudara-saudara kita di pedalaman dan perbatasan untuk bertahan hidup. Bagaimana kita lihat saudara kita di perbatasan lebih memilih menggunakan Ringgit daripada Rupiah. Bukan tidak mungkin apabila mereka lebih cinta pada negeri orang dibanding dengan negeri sendiri. 

Padahal ibarat sebuah rumah, wilayah perbatasan adalah pagar yang dapat melindungi rumah dan segala isinya. Kalau pagar tersebut tidak kita bangun dengan benar, bukan tidak mungkin rumah dan segala isinya akan dijarah dan dikuasai oleh orang asing. 

Tak usahlah jauh-jauh menengok ke perbatasan, di Ibukota Jakarta saja sering dijumpai pembangunan yang tidak merata. Tak jarang, gedung-gedung pencakar langit yang letaknya bedekatan dengan permukiman kumuh. Ironis memang. Padahal ibukota adalah etalase yang merepresentasikan sebuah negara secara tidak langsung. 

Pembangunan di Indonesia juga bisa dikatakan sangat terlambat. Jakarta contohnya, baru membangun transportasi massal MRT akhir tahun 2012 lalu. Bandingkan dengan ibukota negeri Jiran, Kuala Lumpur, yang sudah memiliki Monorel sejak awal tahun 2000. Apalagi Singapura yang sejak tahun 70-an sudah memiliki MRT. Indonesia jelas jauh tertinggal.

Katanya pembangunan dilaksanakan dengan pajak yang kita bayarkan. Tapi, ke mana uang itu? Apakah uang kita dikemplang oleh oknum-oknum macam Gayus Tambunan yang bisa pergi ke Bali walaupun sedang dipenjara itu? Entahlah.

Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, masyarakat Indonesia kembali dibebani oleh harga-harga kebutuhan yang semakin mencekik leher. Kita ini negara yang kaya sumber daya alamnya, tetapi kenapa kita masih saja mengimpor beras dan bahan pangan lainnya? Padahal ketika kita pulang kampung ke desa, hamparan sawah dengan padi menguning terhampar nyata di pelupuk mata. Apa yang salah? 

Harga kebutuhan khususnya harga bahan pangan memang naik. Namun tak lantas kenaikan harga barang itu berimbas positif kepada para petani. Ditambah lagi kebijakan Impor yang semakin 'gila' menambah kesulitan mereka. Mereka pun lebih memilih menjual sawah mereka karena dianggap lebih menguntungkan. Kalau sudah begini, lalu bagaimana nasib ketahanan pangan Indonesia? Peribahasa Gemah Ripah Loh Jinawi pun hanya sebatas angan-angan.

Itulah Indonesiaku, Indonesiamu, dan Indonesia kita. Ia memang sudah merdeka, tetapi belum sepenuhnya merdeka. 

Saya menganalogikan begini. Ada sebuah kapal yang sedang mengarungi lautan. Kapal itu sudah ada sejak berabad-abad silam. Namun baru bisa berlayar sejak 70 tahun lalu. Kapal itu bernama Indonesia, nahkodanya bernama Joko Widodo, ABKnya adalah menteri-menteri kabinet kerja, dan penumpangnya adalah 250 juta rakyat Indonesia. Saat ini, kapal itu sedang didera badai dan ombak besar. Dan sudah menjadi tugas nahkoda dan ABK untuk menyelamatkan segenap penumpang yang jumlahnya tidak sedikit itu. 

Dan kita sebagai penumpang kapal haruslah mendukung kebijakan yang dilakukan nahkoda beserta para pembantu-pembantunya. Apabila kebijakan nahkoda tadi salah, tugas kita adalah mengingatkannya serta menyampaikan kritik dan saran. Semua badai pasti berlalu. Ombak yang ganas pasti akan kembali tenang. Dan kapal yang bernama Indonesia tadi akan sampai di sebuah Pulau yang bernama "Merdeka Sepenuhnya". Kapankah itu? Suatu Saat nanti.

Tulisan ini hanya dibuat oleh seorang mahasiswa biasa yang prihatin melihat bangsanya semakin terpuruk. Saya bukanlah mahasiswa yang pintar berorasi. Saya hanya bisa mengungkapkan kritik, saran, dan unek-unek saya lewat tulisan. Karena terkadang sebuah tulisan mampu mengungkapkan maksud yang tidak bisa diungkapkan lewat kata-kata.

Akhir kata, di hari yang berbahagia bagi Bangsa Indonesia, saya hanya ingin mengucapkan Selamat Hari Ulang Tahun ke-70 Kemerdekaan Republik Indonesia

70 Tahun Indonesia Merdeka, Ayo Kerja!!

1 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.